Sumber: Bintang Merah Nomor Spesial, "Maju Terus" Jilid I. Kongres Nasional Ke-VII (Luar Biasa) Partai Komunis Indonesia. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1963.
Kawan-kawan!
Pertama-tama ingin saya menyatakan persetujuan saya sepenuhnya atas Laporan Umum CC yang disampaikan oleh Kawan Ketua pada Kongres kita ini. Perkenankanlah saya menyampaikan beberapa persoalan internasional dewasa ini.
Dengan tepat dirumuskan oleh Kawan Aidit dalam Laporannya kepada Kongres bahwa situasi internasional sangat menguntungkan gerakan rakyat untuk demokrasi, kemerdekaan nasional, perdamaian, dan kemajuan, sedangkan sebaliknya, imperialisme dunia makin dekat pada liang kuburnya.
Di Eropa Barat sekutu-sekutu Amerika Serikat saling cakar-cakaran dan saling menyikut dalam merebut kedudukan “partnet muda”nya negeri imperialis seberang lautan. Makin tajamlah pertentangan dan makin sengitlah intrik-intrik di antara kaum imperialis Inggris, Perancis dan Jerman Barat. Pergulatan sengit di antara ketiga peminang kasih AS paling menonjol dalam pakta militer NATO serta dalam perang dagang antara Pasaran Bersama Eropa, proyek AS/Jerman Barat dan Daerah Dagang Bebas ciptaan Inggris. Politik AS untuk menjagoi kaum militeris Jerman Barat dengan menyerahkan pimpinan pasukan-pasukan NATO kepada bekas-bekas jenderal Hitler seperti Speidel, Heusinger, amat memilukan Inggris yang sebagai salah satu pemenang atas Nazi Jerman merasa lebih berhak untuk memimpin pasukan-pasukan NATO. Di lain pihak, Jenderal de Gaulle yang merindukan kebesaran Perancis zaman dulu ingin supaya Perancis menduduki tempat pimpinan di Eropa Barat. Untuk memperkuat kedudukan dalam merebut pimpinan Eropa Barat itu de Gaulle berusaha keras mendobrak monopoli pembikinan senjata nuklir yang dipegang oleh Amerika Serikat dan Inggris agar Perancis dapat berbicara dengan AS dan Inggris sebagai “sesamanya”. Dalam melawan Inggris, de Gaulle tidak segan-segan mengadakan persekutuan dengan musuh-musuh bebuyutan rakyat Perancis, kaum militeris Jerman yang sudah 3 kali dalam satu generasi menyerbu dan menduduki Perancis yakni pada tahun 1870, 1914, dan 1939. Tetapi dalam bersekutu dengan Adenauer yang lazim disebut Poros Bonn-Paris, de Gaulle berusaha keras untuk menggeser titik berat poros itu menjadi Poros Paris-Bonn.
Maka itu de Gaulle dengan diam-diam dan dari belakang mendorong Inggris untuk menggagalkan usaha-usaha Adenauer agar NATO yang dikomandoi oleh kaum militeris Jerman yang bukan negara nuklir, dijadikan kekuatan nuklir yang keempat.
Persekutuan Bonn-Paris adalah ibarat persekutuan dari maling-maling yang saling curiga-mencurigai. (Tawa).
Di samping itu pertentangan-pertentangan antara Pasaran Bersama Eropa yang terdiri atas Perancis, Jerman Barat, Italia, Nederland, Belgia dan Luxemburg dan yang dibentuk atas kehendak Amerika Serikat di satu pihak, dan Daerah Dagang Bebas yang meliputi Inggris, Swedia, Norwegia, Denmark, Swiss, Portugal, dan Austria di lain pihak dan yang dibentuk oleh Inggris untuk mempertahankan kedudukannya terhadap Perancis dan Jerman Barat tetap berlangsung terus. Lama sekali Inggris bertahan terhadap desakan Amerika Serikat untuk meninggalkan Daerah Dagang Bebas dan masuk Pasaran Bersama Eropa, tetapi akhirnya dapat ditundukkan juga dan sekarang dengan resmi telah meminta masuk menjadi anggota dari Pasaran Bersama Eropa. Jauh daripada meredakan pertentangan-pertentangan di antara negeri-negeri Eropa Barat, permintaan masuk dari Inggris ini jika dikabulkan akan lebih mempertajam kontradiksi itu, sebab baik de Gaulle maupun Adenauer sangat tidak senang dan merasa terancam kedudukannya, sedangkan negara-negara Daerah Dagang Bebas merasa ditinggalkan dan dikhianati oleh penyeberangan Inggris.
Pertentangan-pertentangan antara sekutu-sekutu AS di Eropa sengit tapi tidak kurang sengitnya adalah perlawanan negara-negara Eropa Barat terhadap Amerika Serikat. Politik persiapan perang amat memberatkan anggaran belanja AS dan sebagian besar dari anggaran belanja ini digunakan untuk mempersenjatai pasukan-pasukan NATO serta untuk memelihara pangkalan-pangkalan perang AS di Eropa. Usaha AS untuk memaksa sekutu-sekutunya agar memikul beban yang lebih besar dalam membelanjai NATO sampai sekarang tidak berhasil. Juga kunjungan Menteri Muda Luar Negeri AS, George Ball, yang baru-baru ini dikirim oleh Kennedy untuk meminta kesediaan teman-temannya di Eropa agar “memperbesar sumbangan finansialnya dalam mempertahankan Eropa sehingga AS dapat mengurangi beban-beban keuangannya yang menyebabkan defisit-defisit yang terus-menerus dalam anggaran belanja AS”, ternyata tidak digubris sehingga menambah ketegangan serta lebih memperdalam pertentangan-pertentangan yang merongrong NATO.
Juga dalam masalah Berlin Barat dan perjanjian perdamaian, kaum imperialis tidak bulat. Usul-usul Uni Soviet dan pemerintah RDD agar Berlin Barat dijadikan kota bebas yang didemiliterisasi dan agar suatu perjanjian perdamaian ditandatangani oleh negara-negara persekutuan anti-Hitler dengan kedua negara Jerman serta usul agar kedua negara Jerman bersatu dalam sebuah konfederasi telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan kaum imperialis. Yang bersifat kepala batu atau sama sekali tak mau tahu adanya dua Jerman dan menolak mentah-mentah setiap perundingan mengenai soal itu, yang sekarang ini jika mungkin hendak mencetuskan apa yang dia namakan perang untuk “membebaskan Jerman Timur”, adalah Adenauer yang dalam hal ini dibantu oleh de Gaulle. Inggris di lain pihak condong mengadakan perundingan, sedangkan Amerika Serikat, karena pendapat umum dunia, pura-pura tidak menolak begitu saja usul-usul Soviet dan RDD yang masuk akal itu. Sikap AS untuk pura-pura tidak a-priori itu saja sudah cukup bagi Adenauer untuk naik pitam. Padahal jika diteliti sikap AS ini lebih lanjut, nyatalah bahwa bermacam-macam syarat yang tak masuk akal dimajukan AS untuk berunding, terang dengan maksud untuk merintangi perundingan itu. Sikap pura-pura dari AS ini ibarat orang yang mau berenang tapi tidak mau basah. (Tawa).
Pemecahan satu-satunya bagi masalah Berlin Barat ialah mengakui kenyataan sebagaimana dikonstatasi Presiden Sukarno adanya dua negara Jerman, mengadakan perjanjian perdamaian dengan kedua negara tersebut dan mendemiliterisasi Berlin Barat. Kiranya sikap tegas pemerintah Indonesia agar mengkonkretkan konstatasi Presiden Sukarno dengan mengadakan hubungan diplomatik artinya dengan mengakui RDD, sahabat dan sekutu dalam membebaskan Irian Barat, sebagai suatu negara yang penuh, akan sangat membantu Indonesia dalam menyelesaikan masalah itu yang sewaktu-waktu bisa meletus membawa malapetaka perang di jantung Eropa dan dunia.
Kawan-kawan!
Jika kaum imperialis Amerika Serikat dihadapkan pada pertentangan-pertentangan dan perlawanan sekutu-sekutunya di Eropa, maka kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di Amerika Latin lebih-lebih memilukan AS lagi. Seluruh benua Amerika Latin – yang seperti dikatakan oleh Kawan Aidit merupakan pekarangan belakan imperialis Amerika – mendidih dengan semangat anti-imperialis AS. Rencana neo-kolonialis “Persekutuan untuk Kemajuan” yang dilancarkan Presiden Kennedy tahun yang lalu dan yang dimaksudkan untuk memperbudak Amerika Latin dengan menggunakan kata-kata manis ternyata mendapat perlawanan yang luar biasa dari seluruh rakyat Amerika Latin. Diilhami oleh sukses-sukses rakyat Kuba dalam melawan kaum imperialis AS, maka rakyat Amerika Latin bangkit dan tidak pernah perjuangan anti-imperialis AS begitu memuncak di Amerika Latin ini seperti dalam tahun segera sesudah “Persekutuan untuk Kemajuan” itu mulai dilaksanakan. Boneka Amerika Serikat, diktator Trujillo yang kejam dan yang selama 30 tahun mengikuti perintah-perintah AS di Dominika digulingkan dan mati terbunuh. Demikian pulalah nasib pengganti Trujillo, Balaguer, dan walaupun kaum imperialis dan klik-klik militer baru-baru ini berhasil menaikkan diktator Bonelly ke puncak pemerintahan dengan ujung bayonet, perjuangan rakyat Dominika tak terhenti. Melihat intensitas perlawanannya maka pastilah ini akan berakhir dengan tumbangnya kekuasaan agen-agen AS di Dominika. Di Guatemala “Front Gerilya 20 Oktober” yang dipimpin oleh perwira Guatemala yang patriotik bersama-sama dengan semua kekuatan nasional di negeri itu makin maju dalam serangan-serangan mereka terhadap alat United Fruit Company, Presiden Ydigoras. Di Salvador, Nicaragua, ya bahkan di negeri ciptaan imperialis AS sendiri, Panama, perlawanan terhadap AS makin menjadi. Di Kolumbia dan di Venezuela pasukan-pasukan gerilya, yang untuk sebagian besar terdiri dari petani-petani miskin, melipatgandakan serangan-serangan mereka terhadap pemerintah-pemerintah reaksioner mereka di bawah semboyan perubahan agraria seperti halnya di Kuba. Juga di Bolivia, negeri yang perekonomiannya dikangkangi oleh Dana Moneter Internasional, rakyat menghimpun kekuatan dalam “Panitia-panitia Membela Hak-hak Rakyat” guna dipukulkan kepada rezim teror yang ditegakkan oleh Amerika Serikat di sana. Seorang boneka AS lainnya, Presiden Stroessner di Paraguay, juga tak berdaya dalam menghadapi serangan-serangan pasukan-pasukan gerilya yang dipimpin oleh Front Pembebasan Nasional dan Partai Komunis Paraguay. (Tepuk tangan). Kedudukan Stroessner makin goyah.
Kawan-kawan, di mana saja di Amerika Latin, kaum imperialis AS menderita kekalahan demi kekalahan. Tetapi kekalahan terbesar yang mereka derita adalah dalam Konferensi Punta del Este yang berlangsung pada akhir bulan Januari 1962 di Uruguay. Konferensi itu yang diadakan oleh Amerika Serikat dengan maksud mengisolasi Kuba, untuk memaksa negara-negara anggota-anggota Organisasi Negara-Negara Amerika secara kolektif memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuba, mengadakan sangsi-sangsi ekonomi terhadap Kuba yaitu di negeri di mana rakyatnya sedang membangun masyarakat Sosialis pertama di benua Amerika, ternyata merupakan kegagalan yang besar. Wakil-wakil enam negara Amerika Latin terbesar yang penduduknya meliputi 70% lebih dari seluruh penduduk Amerika Latin, yaitu Brasilia, Argentina, Meksiko, Cili, Ekuador, dan Bolivia terpaksa harus memperhitungkan kepopuleran Kuba di kalangan rakyat negeri mereka dan tidak berani menyokong usul-usul Amerika Serikat untuk menyerang Kuba. Malahan yang diterima oleh Konferensi itu adalah resolusi yang menyokong hak-hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri serta yang memperkuat prinsip-prinsip non-intervensi. (Tepuk tangan).
Benar, karena berhasil dalam mempergunakan klik-klik militer yang reaksioner, kaum imperialis Amerika Serikat dapat memaksa Argentina dan Ekuador untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuba, namun perlawanan rakyat yang sedang menggelora di kedua negeri itu merupakan pertanda bahwa “kemenangan” kaum imperialis Amerika Serikat ini hanyalah bersifat sementara saja.
Kawan-kawan, makin terjepitnya kedudukan boneka-boneka Ngo Din Diem dan klik Nousavan, ditambah dengan keretakan-keretakan yang mulai merongrong SEATO memaksa kaum imperialis Amerika Serikat untuk mencari jalan lain guna memperkuat kedudukannya di Asia. Keharusan inilah yang merupakan latar belakang mengapa kaum imperialis Amerika Serikat begitu terburu-buru dalam usaha mereka untuk membentuk NEATO, Organisasi Persetujuan Asia Timur Laut. Perundingan-perundingan sekarang sedang dilakukan di bawah pengawasan Amerika Serikat antara agen Amerika Jenderal Pak Jung Hai dari Korea Selatan dengan Perdana Menteri Jepang Ikeda agar bersama-sama dengan Ciang Kai-sek membentuk NEATO, sehingga dengan demikian lengkaplah rangkaian persekutuan militer Amerika Serikat yang membujur mulai dari NATO, CENTO, SEATO sampai ke NEATO. Anggota-anggota NEATO akan terdiri dari musuh-musuh rakyat Indonesia. Bukankah Korea Selatan dan Taiwan merupakan negeri-negeri yang paling bernafsu untuk mengirim “sukarelawan-sukarelawan” guna membantu pemberontakan kontra-revolusioner “PRRI-Permesta”? Dan bukankah Pak Jung Hai dan Ciang Kai-sek adalah penganjur-penganjur yang giat dari pembentukan Negara Papua serta bukankah pemerintah Ikeda yang dengan terang-terangan menyokong Belanda dalam masalah Irian Barat? Terang-benderanglah, bahwa NEATO ini bukan saja dimaksudkan untuk membendung gerakan rakyat Korea Selatan, rakyat Jepang, dan rakyat Taiwan yang semakin menghebat menentang imperialis Amerika Serikat itu, tetapi terutama juga untuk menghambat perjuangan rakyat Indonesia dalam membebaskan Irian Barat dan dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur. Kewaspadaan setinggi-tingginya dituntut dari pemerintah dan rakyat Indonesia terhadap intrik kaum imperialis Amerika Serikat ini.
Kawan-kawan!
Dalam menghadapi perubahan imbangan kekuatan dunia yang menguntungkan rakyat karena makin unggulnya sistem sosialis, makin hebatnya gerakan anti-imperialis untuk kemerdekaan nasional dan makin majunya gerakan membela perdamaian dunia, maka kaum imperialis Amerika sedang memeras otaknya untuk mencari jalan bagaimana kedudukan mereka bisa diselamatkan dan bagaimana cara-caranya yang harus ditempuh ke arah ini.
Di samping mempergiat dan memperluas persiapan-persiapan perang serta menyempurnakan senjata-senjata nuklir, mereka melihat dalam “koeksistensi damai” sebuah lubang untuk memperpanjang hidup imperialisme. Dalam wawancaranya dengan pemimpin-pemimpin surat kabar Soviet “Isvestia”, Adjubei, pada tanggal 25 November 1961, Presiden Kennedy menegaskan bahwa “kami juga ingin hidup berdampingan secara damai”. Tapi – ada tapinya kawan-kawan – untuk itu Uni Soviet harus “menghentikan usaha-usahanya mengkomuniskan dunia” (tawa) dan rakyat-rakyat negeri sosialis harus diberi “pilihan bebas” untuk kembali ke sistem kapitalis. (Tawa). Jika kedua syarat itu dipenuhi, maka Presiden Kennedy bersedia hidup berdampingan secara damai selama 20 tahun. Apakah artinya ini, kawan-kawan? Ini berarti bahwa perjuangan kaum buruh dan rakyat negeri kapitalis untuk perbaikan nasib dan perdamaian, perjuangan bangsa-bangsa yang dijajah atau yang baru merdeka untuk kemerdekaan nasional yang penuh dan bantuan ekonomi kubu sosialis kepada negeri-negeri yang baru berkembang, kesemuanya itu harus dihentikan, sebab semua itu dianggap sebagai usaha-usaha Uni Soviet untuk mengkomuniskan dunia. (Tawa). Jadi jika mau hidup berdampingan secara damai, maka imperialisme tidak boleh dilawan dan diganggu-gugat. Hal ini tidak akan begitu serius jika tidak ada kalangan-kalangan di luar blok imperialis yang mempropagandakan bahwa demi kepentingan hidup berdampingan secara damai, janganlah dilakukan perjuangan anti-imperialis, janganlah perjuangan kemerdekaan nasional diteruskan. Kita masih ingat pada suara-suara sedemikian di Konferensi Non-Blok tahun yang lalu, suara-suara yang menyatakan bahwa yang primer adalah menyelesaikan konflik-konflik antara dua blok raksasa dan jika hal ini sudah diselesaikan maka dengan sendirinya soal kolonialisme, masalah melawan imperialisme juga akan terselesaikan. Kawan-kawan, yang paling giat menjual obat imperialis guna memperpanjang hidupnya ini ialah kaum revisionis modern Yugoslavia. Dengarlah apa yang ditulis dalam majalah Federasi Wartawan Yugoslavia “Review of International Affairs” tanggal 5 Maret 1962. Dalam artikel “Politik Selangkah Demi Selangkah” kaum revisionis menganjurkan bahwa demi hidup berdampingan secara damai “janganlah mengadakan propaganda ekstrim yang memberi penekanan terlalu keras pada aspek-aspek negatif dari politik negara-negara barat” dan bahwa dunia timur harus “bersifat lebih lunak agar tercipta suasana yang lebih menguntungkan bagi usaha-usaha bersama yang serius guna mendekatkan pendapat-pendapat”. Seorang revisionis Yugoslavia lainnya, namanya Joze Smola, dalam bukunya “Yugoslav Views on Co-Existance” (Pandangan-Pandangan Yugoslavia tentang Koeksistensi Damai) bukannya menganjurkan agar negara-negara yang baru merdeka melawan imperialisme tetapi agar bekerja “guna mendapatkan tempat yang sama derajat dalam perekonomian dunia dan kehidupan internasional”. Menurut kaum revisionis Yugoslavia segala keruwetan dan situasi gawat di dunia ini tidak disebabkan oleh kaum imperialis, terutama tidak oleh kaum imperialis Amerika Serikat, tetapi karena dua blok besar di dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet, masing-masing mau meluaskan daerah pengaruhnya dan mau menempatkan “negara-negara yang baru merdeka dalam kedudukan tergantung secara ekonomi dan politik pada mereka”. Jadi menurut orang-orang ini, usaha neo-kolonialisme yang berbentuk “Malaysia” bukan dimaksudkan untuk menindas gerakan kemerdekaan nasional di Malaya, Singapura, Brunai, Sarawak, dan Kalimantan Utara serta untuk membendung makin meluasnya pengaruh progresif dari Indonesia di Asia Tenggara, akan tetapi terutama harus dilihat sebagai akibat perebutan pengaruh antara Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan RRT di Asia Tenggara. (Tawa). “Malaysia” kata mereka juga dimaksudkan oleh Tengku Abdulrachman untuk mengimbangi gagasan “Indonesia Raya” yakni gabungan Indonesia, Malaya dan Philipina yang menurut kaum revisionis Yugoslavia dicetuskan oleh profesor Indonesia yang terkenal, anggota Pemerintahan Sukarno dan Ketua Depernas Mohammad Yamin. (Tawa). Hal ini dapat dibaca pula dalam artikel Tan Pavlov dalam majalah “Review of International Affairs” 5 Januari 1962. Dengan dalih “segala sesuatu adalah akibat pertentangan antara dua blok raksasa”, kaum revisionis ingin menyatakan bahwa perjuangan melawan imperialis Amerika Serikat tidak akan ada gunanya sebab dunia baru akan beres, jika pertentangan ini sudah tidak ada lagi dan untuk itu semua perlawanan anti-imperialisme harus diperlunak, masalah-masalah kolonialisme harus diselesaikan secara damai – juga masalah Irian Barat.
Demikianlah kawan-kawan, usaha kaum revisionis untuk menyelewengkan sasaran perjuangan kemerdekaan nasional. Demikianlah, kawan-kawan, gagasan hidup berdampingan secara damai, perdamaian dan perlucutan senjata hendak dikebiri oleh kaum revisionis modern Yugoslavia. Jadi, jika Partai dengan konsekuen melawan revisionisme modern sebagaimana yang dipraktekkan oleh pemimpin-pemimpin Yugoslavia, maka hal ini di samping menunaikan tugas perjuangan Komunis guna memelihara dan menjaga baik-baik kemurnian Marxisme-Leninisme, juga adalah guna melawan dan mengalahkan pikiran-pikiran revisionis modern yang mau melumpuhkan perjuangan kita sendiri dan perjuangan semua rakyat yang hendak merebut kemerdekaan nasional yang sempurna dengan jalan apapun. (Tepuk tangan).
Kawan-kawan, sama sekali tak dapatlah diartikan bahwa kaum Komunis Indonesia tidak menyetujui koeksistensi damai. Kita termasuk orang-orang yang paling gigih memperjuangkan perdamaian, yang menyokong koeksistensi damai, tetapi kita termasuk juga orang-orang yang tidak kurang gigihnya melawan pikiran-pikiran revisionis, pikiran bahwa demi koeksistensi damai, demi perjuangan perdamaian dan perlucutan senjata, maka perjuangan anti-kolonialis, perjuangan anti-imperialis Amerika Serikat harus ditangguhkan, diperlunak atau dikendorkan. (Tawa). Kaum Komunis Indonesia berpendapat bahwa hanya dengan aksi-aksi massa melawan imperialisme, hanya dengan perjuangan kemerdekaan nasional dengan jalan apapun juga, kaum imperialis dapat diperlemah kedudukannya. Ini adalah kebenaran yang sederhana, ini adalah politik yang fleksibel, yang akan menyukseskan perjuangan rakyat untuk memaksa kaum imperialis hidup berdampingan secara damai. Saya rasa jawaban yang paling jitu terhadap pikiran beracun dari kaum revisionisYugoslavia ini adalah pernyataan Kawan Ketua kita sendiri, yaitu “Perjuangan melawan imperialis untuk kemerdekaan nasional erat bertalian dan tak bisa dipisah-pisahkan dari perjuangan untuk perlucutan senjata dan perdamaian. Pengalaman rakyat Indonesia membuktikan bahwa hanya dengan merangkaikan erat perjuangan untuk kemerdekaan melawan imperialisme dengan perjuangan untuk perdamaian, hanya dengan menyorot serta memberi penekanan yang kuat pula pada gerakan kemerdekaan maka gerakan perdamaian dunia dapat mencapai sukses yang gemilang”. (Tepuk tangan).
Kawan-kawan, demikianlah pendapat saya tentang keadaan dunia yang menguntungkan gerakan rakyat untuk perdamaian dan kemerdekaan nasional. Keadaan ini mengharuskan semua orang, semua tenaga yang termasuk dalam kekuatan-kekuatan baru yang sedang tumbuh untuk memperhebat pukulan-pukulan terhadap imperialisme dunia yang dikepalai oleh Amerika Serikat. Dengan memperhebat dan melipatgandakan usaha-usaha untuk membebaskan Irian Barat, dengan memperhebat perlawanan terhadap semua imperialis yang membantu kaum kolonialis Belanda, dengan lebih gigih melawan dan menelanjangi rencana-rencana agresif kaum imperialis Amerika Serikat, lebih-lebih SEATO dan NEATO, maka rakyat Indonesia dapat memberi sumbangan yang penting dalam memencilkan serta memperlemah lebih lanjut kaum imperialis Amerika Serikat sebagai benteng dan pusat imperialisme dunia. Hanya dengan demikian rakyat Indonesia dapat melaksanakan tugas politik luar negeri yang, sebagaimana dirumuskan dalam Manipol, “politik yang harus menghimpun semua kekuatan progresif di dunia dalam satu front internasional untuk kemerdekaan dan perdamaian melawan imperialisme dan perang agresif”.
Sekian kawan-kawan pimpinan dan terima kasih. (Tepuk tangan panjang).