Mari kita lanjutkan kisah perkembangan ini. Sejarah Majelis Konstituante Nasional itu sejak hari-hari Juni merupakan sejarah dominasi dan disintegrasi faksi burjuasi republiken, dari faksi yang terkenal dengan nama-nama kaum republiken triwarna, kaum republiken murni, kaum republiken politik, kaum republiken formalis, dsb.
Di bawah monarki burjuis Louis Philippe ia telah menjadi oposisi republiken resmi dan sebagai konsekuensinya merupakan suatu bagian komponen yang diakui dari dunia politik jamannya. Ia mempunyai wakil-wakilnya di dalam Dewan-dewan dan suatu lingkungan pengaruh yang besar sekali di dalam pers. Organnya di Paris, National, dianggap sama terhormatnya seperti Journal des Debats. Wataknya bersesuaian dengan posisi ini di bawah monarki konstitusional. Ia bukan suatu faksi burjuasi yang dipersatukan oleh kepentingan-kepentingan besar bersama dan ditandai oleh kondisi-kondisi produksi tertentu. Ia merupakan suatu klik burjuasi, penulis, pengacara, perwira dan pejabat yang berpikiran republiken, yang berhutang pengaruhnya pada antipati-antipati personal negerinya terhadap Louis Philippe, pada kenangan-kenangan pada republik lama, pada keyakinan republiken sejumlah orang antusias, namun, di atas segala-galanya, pada nasionalisme Prancis, yang kebenciannya terhadap perjanjian-Wina dan terhadap persekutuan dengan Inggris dikobar-kobarkannya terus-menerus. Sebagian besar dari pengikut organ Nasional itu di bawah Louis Philippe disebabkan oleh imperialisme tersembunyi ini, yang secara konsekuen dapat menghadapinya kelak, di bawah republik, sebagai suatu saingan mematikan dalam person Louis Bonaparte. Ia menentang aristokrasi keuangan, sebagaimana dilakukan semua orang selebihnya dari oposisi burjuis. Polemik-polemik terhadap anggaran penerimaan dan pengeluaran (budget) yang sangat erat berhubungan dengan menentang aristokrasi keuangan itu, mendapatkan ketenaran secara terlalu murah dan materi untuk tajuk-tajuk karangan puritan terlalu berlimpah-limpah untuk tidak dieksploitasi. Burjuasi industri berterima-kasih padanya untuk pembelaannya yang membudak pada sistem proteksionis Prancis, yang, namun, diterimanya, lebih atas dasar-dasar nasional daripada atas dasar perekonomian nasional; burjuasi secara keseluruhan, karena penolakannya yang ganas terhadap komunisme dan sosialisme. Untuk yang selebihnya, partai dari organ Nasional itu adalah semurninya republiken; yaitu, ia menuntut suatu bentuk pemerintahan burjuis republiken gantinya suatu bentuk pemerintahan burjuis monarki dan, di atas segala-galanya, bagian terbesar dari pemerintahan ini. Tentang kondisi-kondisi transformasi ini ia sama sekali tidak jelas dalam pikirannya sendiri. Sebaliknya, yang sejelas terang siang hari, dan yang secara umum diakui di perjamuan-perjamuan reformasi pada hari-hari terakhir Louis Philippe, adalah ketidak-tenarannya dengan burjuis-kecil demokratik, dan khususnya dengan proletatriat revolusioner. Kaum republiken murni ini, sebagaimana memang caranya kaum republik murni, sudah berada di titik memuaskan diri mereka sendiri dalam instansi pertama dengan suatu perwalian Duchess of Orleans ketika Revolusi Pebruari itu pecah dan mendudukkan para wakil mereka yang paling terkenal dalam Pemerintahan Sementara. Dari awal mereka dengan sendirinya mendapatikan kepercayaan burjuasi dan suatu mayoritas dalam Majelis Konstituante Nasional. Unsur-unsur sosialis Pemerintahan Sementara selanjutnya dikeluarkan dari Komisi Eksekutif yang dibentuk Majelis Nasional ketika bersidang, dan partai Nasional memanfaatkan pecahnya pemberontakan Juni untuk memecat Komisi Ekskutif juga, dan dengan itu menyingkirkan pesaing-pesaingnya yang terdekat, para republiken burjuasi-kecil, atau demokratik (Ledru-Rollin,dsb.). Cavaignac, jendral dari bagian republiken-burjuis yang memimpin pembantaian Juni, menggantikan Komisi Eksekutif dengan sejenis kekuasaan diktator. Marrast, mantan kepala redaksi Nasional, terusmenerus menjadi presiden Majelis Konstituante Nasional, dan para menterinya, maupun semua pos penting lainnya, menjadi bagian para republiken murni.
Faksi republiken burjuis, yang sudah lama menganggap dirinya sebagai pewaris sah dari Monarki Juli, dengan demikian menemukan harapanharapannya yang paling diidam-idamkan terlampaui; namun, ia telah mencapai kekuasaan, tidak sebagaimana yang diimpikannya di bawah Louis Philippe, melalui suatu pemberontakan liberal dari kaum burjuis terhadap singgasana, tetapi melalui suatu kebangkitan kaum proletariat terhadap kapital, suatu kebangkitan yang ditundukkan dengan tembakan gotri. Yang telah dipahaminya sebagai peristiwa paling revolusioner ternyata sebenarnya merupakan peristiwa yang paling kontrarevolusioner. Buahnya jatuh ke pangkuannya, tetapi ia jatuh dari pohon pengetahuan, tidak dari pohon kehidupan.
Pemerintahan khusus dari kaum repuliken burjuis hanya berlangsung dari 24 Juni hingga 10 Desember 1848. Ia disimpulkan dalam penyusunan sebuah konstitusi republiken dan dalam keadaan Paris terkepungan.
Konstitusi baru itu pada dasarnya hanyalah sebuah edisi yang direpublikenkan dari Piagam konstitusional tahun 1830. Kualifikasi elektoral yang sempit dari Monarki Juli, yang tidak memasukkan bahkan suatu bagian besar dari kaum burjuasi dalam kekuasaan politik, tidak sesuai dengan keberadaan republik burjuis itu. Sebagai gantinya kualifikasi ini, Revolusi Pebruari segera memproklamasikan pemilihan umum secara langsung. Kaum republiken burjuis tidak dapat membatalkan peristiwa ini. Mereka mesti puas dengan menambahkan ketentuan pembatasan residensi/bertempat tinggal enam bulan di wilayah pemilihan. Organisasi pemerintahan lama, sistem kota-praja/munisipal, sistem pengadilan/yudisial, tentara, dsb., terus berlaku tanpa perubahan atau manakala konstitusi itu mengubahnya, perubahan itu hanya menyangkut daftar isinya, bukan isinya sendiri; sebutannya, bukan hal ikhwalnya.
Staf umum kebebasan-kebebasan tahun 1848 yang tidak terelakkan, kebebasan pribadi, kebebasan pers, berbicara, berasosiasi, berkumpul, pendidikan dan religi, dsb., mendapatkan suatu seragam konstitusional yang menjadikannya lebih rentan. Karena masing-masing kebebasan itu diproklamasikan sebagai hak mutlak citoyen, namun selalu dengan catatan pinggir bahwa ia tidak terbatas sejauh ia tidak dibatasi oleh hak-hak sama dari orang lain dan keamanan publik atau oleh undang-undang yang dimaksud untuk mengantarai justru keserasian kebebasankebebasan individual ini satu sama lain dan dengan keamanan publik.
Misalnya
“Warga mempunyai hak untuk berasosiasi, berkumpul secara damai dan tidak bersenjata, mengajukan petisi dan menyatakan pendapat, dalam pers ataupun dengan sesuatu cara lain. Dinikmatinya hak-hak ini tidak mempunyai batasan kecuali hak orang-orang lain yang sama dan keamanan publik.”
“Pendidikan tanpa dipungut bayaran. Kebebasan pendidikan akan dinikmati dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan undang-undang dan di bawah kontrol tertinggi dari Negara”
“Rumah setiap warga tidak dapat diganggu-gugat kecuali dalam bentuk-bentuk yang ditentukan dengan undang-undang.”
Oleh karenanya, konstitusi itu selalu mengacu pada undang-undang organik masa-depan yang mesti memberlakukan catatan-catatan pinggir dan mengatur kebebasan-kebebasan yang tidak terbatas itu sedemikian rupa sehingga mereka tidak saling-bertubrukan satu-sama-lain maupun bertubrukan dengan keamanan publik. Dan kemudian undang-undang organik ini dilahirkan oleh sahabat-sahabat ketertiban dan semua kebebasan itu diatur sedemikian rupa hingga burjuasi dalam menikmatinya mendapatkan dirinya tidak dirintangi oleh hak-hak yang sama dari kelas-kelas lain. Manakala ia melarang kebebasan-kebebasan ini secara menyeluruh bagi pihak-pihak lain, atau mengijinkan penikmatannya dengan syarat-syarat yang justru menyamai sekian banyak jebakan polisi, ini selalu terjadi semata-mata untuk kepentingan keamanan publik –yaitu, keamanan burjuasi– sebagaimana ditentukan oleh konstitusi. Dalam kelanjutannya, kedua pihak secara sama/bersesuaian menghimbau dengan sepenuh keadilan pada konstitusi: para sahabat ketertiban, yang membatalkan semua kebebasan ini, maupun kaum demokrat, yang menuntut semua kebebasan itu. Karena masingmasing paragraf konstitusi itu mengandung antitesisnya sendiri, majelis tinggi dan majelis rendahnya sendiri, yaitu, kebebasan dalam ungkapan umum, pembatalan kebebasan dalam catatan pinggir. Demikian, selama nama kebebasan itu dihormati dan hanya realisasi aktualnya yang dicegah, sudah tentu dengan cara yang sah, maka keberadaan kebebasan konstitusional tetap utuh, tidak dilanggar, betapapun mematikan pukulan-pukulan yang dilancarkan pada keberadaannya dalam kehidupan aktual.
Konstitusi ini, yang dibuat tak-bisa diganggu-gugat dengan suatu yang sedemikian sederhana, betapapun adalah, seperti Achilles, rentan dalam satu hal –tidak pada tumitnya, tetapi dalam kepala, atau lebih tepatnya dalam dua kepala jadinya: Majelis Legislatif di satu pihak, Presiden dipihak lain. Bacalah sekilas seluruh konstitusi itu dan anda akan mendapatkan bahwa hanya paragraf-paragraf di mana hubungan Presiden dengan Majelis Legislatif itu ditentukan secara mutlak, positif, tidak kontradiktif, dan tidak dapat didistorsikan. Karena di sini persoalnya adalah kaum republiken burjuis mengamankan diri mereka sendiri. Pasal-pasal 45-70 dari Konstitusi itu susunan kata-katanya adalah sedemikian rupa sehingga Majelis Nasional dapat menyingkirkan Presiden secara konstitusional, sedangkan Presiden dapat menyingkirkan Majelis Nasional hanya secara tidak konstitusional, hanya dengan mengenyampingkan konstitusi itu sendiri. Karenanya, di sini ia menentang penghancurannya secara paksa. Ia tidak saja menentukan pembagian kekuasaan, seperti Piagam tahun 1830, ia melebarkannya menjadi suatu kontradiksi yang tidak dapat ditenggang. Permainan kekuasaan-kekuasaan konstitusional, sebagaimana Guizot mengistilahkan pertengkaran parlementer antara kekuasaan legislative dan eksekutif, di dalam konstitusi 1848 terus-menerus dimainkan vabanque (mempertaruhkan segalanya). Di satu pihak adalah tujuh ratus lima puluh wakil rakyat, yang dipilih dengan pemilihan umum dan dapat dipilih-kembali; mereka merupakan suatu Majelis Nasional yang tidak dapat dikontrol, tidak dapat dibubarkan, tidak dapat dibagibagi, sebuah Majelis Nasional yang menikmati kekuasaan-kekuasaan pembuat undang-undang yang tidak terbatas, yang pada tingkat terakhir menentukan peperangan, perdamaian, dan perjanjian-perjanjian komersial, hanya sendiri memiliki hak memberi amnesti, dan, dengan permanensinya, selamanya menguasai bagian depan pentas. Di pihak lain adalah Presiden, dengan semua atribut kekuasaan raja, dengan otoritas untuk mengangkat dan memberhentikan para menterinya tanpa bergantung pada Majelis Nasional, dengan semua sumber kekuasaan eksekutif dalam tangannya, memberikan semua kedudukan dan dengan begitu mengatur peri-kehidupan di Prancis dari sekurang-kurangnya sejuta-setengah orang, karena begitu banyak yang bergantung pada limaratusribu penjabat dan perwira dari semua tingkat. Ia mendapat dukungan seluruh angkatan bersenjata. Ia menikmati hak-istimewa untuk mengampuni kriminal-kriminal individual, menangguhkan Garda-garda Nasional, melepas, dengan persetujuan Dewan Negara, dewan-dewan umum, distrik dan kota yang dipilih oleh para warga sendiri. Inisiatif dan pengarahan dicadangkan bagi dirinya dalam semua perjanjian dengan negeri-negeri asing. Sementara Majelis terus-menerus berkinerja atas dewan-dewan dan terekspos pada kritik publik sehari-hari, ia menjalani suatu kehidupan yang terjadwal di Medan-medan Elysian, dan itu dengan Pasal 45 konstitusi di depan matanya dan dalam hatinya, yang berseru pada dirinya setiap hari: Frere, il faut mourir! (Saudara, seseorang mesti mati!). Kekuasaan anda, berakhir pada hari Minggu kedua bulan Mei yang indah pada tahun keempat sesudah pemilihanmu! Maka kejayaan anda sudah berakhir, adegan itu tidak dimainkan dua kali, dan jika anda mempunyai utang, cepat-cepat berusahalah melunasinya dengan 600.000 franc yang dihibahkan pada anda oleh konstitusi, kecuali, mungkin, anda lebih suka pergi ke Clichy pada hari Senin kedua dari bulan Mei yang indah! Demikian, kalau konstitusi itu memberikan kekuasaan pada Presiden, ia berusaha mengamankan kekuasaan moral bagi Majelis Nasional. Kecuali kenyataan bahwa tidaklah mungkin menciptakan suatu kekuasaan moral deengan paragraf-paragraf undang-undang, konstitusi di sini membatalkan dirinya sendiri sekali lagi dengan membuat Presiden dipilih oleh semua orang Prancis melalui pemilihan umum. Sementara suara-suara Prancis dibagi di antara tujuh ratus lima puluh anggota Majelis Nasional, mereka adalah, sebaliknya, dipusatkan pada satu individu saja. Sementara masing-masing wakil rakyat hanya mewakili partai ini atau partai itu, kota ini atau kota itu, pangkalan ini atau pangkalan itu, atau bahkan hanya sekedar keperluan untuk memilih seseorang sebagai yang ke tujuh ratus lima puluh, tanpa memeriksa terlalu cermat perjuangan atau orangnya, ia merupakan yang terpilih dari nasion dan tindakan pemilihannya merupakan senjata ampuh yang dimainkan orang berdaulat setiap empat tahun (sekali). Majelis Nasional yang terpilih berada dalam suatu hubungan metafisik, tetapi Presiden yang terpilih dalam suatu hubungan pribadi, dengan nasion itu. Majelis Nasional, memang, memperagakan dalam setiap wakil-wakilnya beragam aspek dari semangat nasional, tetapi dalam Presiden itu semangat nasional ini mendapatkan inkarnasinya. Dibandingkan dengan Majelis itu, ia memiliki sejenis hak ilahi; ia adalah Presiden karena diberkati Rakyat.
Thetis, dewi laut, meramalkan pada Achilles bahwa ia akan mati pada megar-megarnya masa mudanya. Konstitusi itu, yang, seperti Achilles, mempunyai titik lemahnya, juga mempunyai, seperti Achilles, suatu firasat bahwa dirinya akan mati dalam usia muda. Cukuplah bagi kaum republiken murni pembuat-konstitusi itu melemparkan sekilas pandang dari surga tinggi republik ideal mereka pada dunia profan untuk memahami bagaimana keangkuhan kaum royalis, kaum Bonapartis, kaum demokrat, kaum komunis, maupun noda mereka sendiri, hari-demi-hari bertumbuh dalam ukuran sama sambil mereka mendekati penyelesaian karya seni legislatif mereka yang besar, tanpa Thetis dalam hal ini meninggalkan lautan dan mengomunikasikan rahasia itu kepada mereka. Mereka berusaha mencundangi nasib dengan sebuah jebakan dalam konstitusi itu, sekalipun Pasal III yang mengikuti setiap gerakan bagi suatu revisi konstitusi mesti didukung oleh sedikitnya tiga-per-empat suara, yang dilakukan dalam tiga berdebatan berturut-turut dengan sebulan penuh di antaranya, dengan ketentuan tambahan bahwa tidak kurang dari limaratus anggota dari Majelis Nasional mesti memberikan suaranya. Dengan begitu mereka semata-mata membuat usaha impotent untuk melanjutkan pelaksanaan suatu kekuasaan –manakala hanya suatu minoritas parlementer, sebagaimana yang sudah mereka lihat diri sendiri secara perbuatan dalam mata-pikiran mereka– suatu kekuasaan yang pada waktu itu, manakala mereka menguasai suatu mayoritas parlementer dan semua sumber kewenangan pemerintahan, hari-demi-hari terlepas lebih banyak dan semakin lebih banyak lagi dari tangan mereka yang lemah. Akhirnya konstitusi itu, dalam sebuah paragraf melodramatik, mempercayakan dirinya “pada kewaspadaan dan patriotisme seluruh rakyat Prancis dan masing-masing orang Prancis,” setelah ia sebelumnya mempercayakan dalam sebuah paragraf lain yang waspada dan yang patriotik pada perhatian lembut, perhatian paling njelimet dari Mahkamah Pengadilan Tinggi, haut cour yang diciptakannya untuk tujuan itu.
Seperti itulah Konstitusi tahun 1848, yang pada tanggal 2 Desember 1851, tidak ditumbangkan oleh suatu kepala, melainkan jatuh pada sentuhan sebuah topi belaka; topi ini, sebenarnya, adalah sebuah topi Napoleonik yang bersudut-tiga.
Selagi kaum republiken burjuis dalam Majelis itu sibuk merancang, dan memberi suara pada konstitusi ini, Cavaignac di luar Majelis mempertahankan keadaan darurat Paris. Keadaan darurat Paris merupakan bidan Majelis Konstituante dalam pekerjaan penciptaan republiken. Jika konstitusi itu kemudian dimatikan dengan bayonetbayonet, tidak boleh dilupakan bahwa adalah sama pula dengan bayonet- bayonet, dan yang diarahkan terhadap rakyat, ia harus dilindungi dalam perut bundanya dan dengan bayonet-bayonet ia harus dilahirkan. Para leluhur kaum republiken yang terhormat telah mengirimkan lambang mereka, sang triwarna, dalam suatu perjalanan keliling Daratan (Eropa) tetapi telah kembali ke Prancis dengan kasih yang selalu diperbarui hingga ia kini menjadi dibiasakan dengan separuh departemen-departemen-nya –dalam keadaan darurat itu. Sebuah ciptaan bagus sekali, yang secara periodik dipakai dalam setiap krisis yang timbul dalam perjalanan Revolusi Prancis. Tetapi barak dan perkemahan, yang dengan demikian secara periodik diletakkan atas kepala masyarakat Prancis untuk memadatkan benaknya dan membuatnya diam; pedang dan senapan, kumis dan seragam akhirnya mesti menimbulkan ide daripada menyelamatkan masyarakat untuk selama-lamanya dengan memproklamasikan rezim mereka sendiri sebagai yang tertinggi dan membebaskan masyarakat sivil sepenuhnya dari kerepotan memerintah dirinya sendiri? Barak dan perkemahan, pedang dan senapan, kumis dan seragam tidak bisa tidak semakin menimbulkan ide ini sebagaimana kemudian juga dapat mereka mengharapkan pembayaran tunai yang lebih baik bagi jasa-jasa mereka yang lebih besar, sedangkan dari keadaan terkepung secara berkala dan pertolongan-pertolongan sementara dari masyarakat atas permohonan faksi burjuis yang ini atau yang itu, tidaklah banyak yang dikumpulkan kecuali beberapa yang terbunuh dan terluka dan beberapa seringai burjuis yang bersahabat. Tidakkah militer mesti setidaknya pada satu hari memainkan keadaan darurat demi kepentingan mereka sendiri dan untuk keuntungan mereka sendiri, dan sekaligus mengepung/meyerbu pundi-pundi warga? Lagi pula, perlu diperhatikan sambil lalu, bahwa orang jangan melupakan bahwa Kolonel Bernard, presiden komisi militer yang sama yang di bawah pimpinan Cavaignac telah mendeportasikan limabelasribu pemberontak tanpa pengadilan, pada saat ini kembali memimpin komisi-komisi militer yang aktif di Paris.
Sedangkan mengenai keadaan Keadaan darurat di Paris, kaum republik murni, yang terhormat menanamkan kebun bibit di mana kaum praetorian dari 2 Desember 1851, mesti bertumbuh menjadi dewasa, mereka sebaliknya layak dipuji karena, bukannya membesar-besarkan sentimen nasional seperti di bawah Louis Philippe, mereka kini, ketika memegang kekuasaan nasional, merangkak di hadapan negeri-negeri asing, dan bukannya membebaskan Italia, membiarkannya ditaklukkan kembali oleh orang-orang Austria dan Neapolitan. Pemilihan Louis Bonaparte sebagai Presiden pada tanggal 10 Desember 1848, telah mengakhiri kediktatoran Cavaignac dan Majelis Konstituante itu.
Dalam Pasal 44 Konstitusi dinyatakan:
Presiden Republik Prancis jangan pernah kehilangan statusnya sebagai warganegara Prancis.
Presiden pertama dari Republik Prancis, L.N. Bonaparte, tidak hanya kehilangan statusnya sebagai warganegara Prancis, tidak hanya dalam bahasa Inggris jagabaya istimewa, ia bahkan seorang Swiss yang dinaturalisasikan.
Di sesuatu tempat lain aku telah mengemukakan arti-penting pemilihan tanggal 10 Desember. Aku tidak akan kembali pada soal itu di sini. Cukuplah dengan menyatakan di sini bahwa itu adalah suatu reaksi kaum tani, yang harus membayar biaya Revolusi Pebruari, terhadap selebihnya kelas-kelas bangsa; suatu reaksi dari pedesaan terhadap perkotaan. Ia mendapatkan persetujuan tentara, yang untuknya para republiken dari berkala Nasional tidak memberikan kejayaan maupun bayaran tambahan; di kalangan burjuasi besar, yang menyambut Bonaparte sebagai sebuah jembatan ke monarki, di kalangan proletar dan burjuis-kecil, yang menyambutnya sebagai momok bagi Cavaignac. Aku akan mendapatkan kesempatan untuk lebih mendalami hubungan kaum petani dengan Revolusi Prancis.
Periode dari 20 Desember 1848 hingga bubarnya Majelis Konstituante dalam bulan Mei 1849, merupakan sejarah kejatuhan kaum republiken burjuis. Setelah mendirikan sebuah republik bagi burjuasi, setelah mengusir proletariat revolusioner dari lapangan, dan mereduksi burjuiskecil demokratik membungkam untuk sementara waktu, mereka sendiri digusur ke samping oleh massa burjuasi, yang secara tepat mengandangkan/menyita republik ini sebagai miliknya. Massa burjuis ini adalah, betapapun, kaum royalis. Satu bagian darinya, kaum pemilik tanah besar, telah memerintah selama Restorasi dan sesuai dengan itu adalah kaum Legitimis. Yang lainnya, kaum aristokrat keuangan dan kaum industri besar, telah memerintah selama Monarki Juli dan karenanya adalah kaum Orleanis. Pejabat-pejabat tinggi dari tentara, universitas, gereja, kehakiman, akademi, dan pers dapat dijumpai di pihak manapun, sekalipun dalam berbagai proporsi. Di sini, dalam republik burjuis itu, yang tidak menyandang nama Bourbon maupun nama Orleans, tetapi nama kapital, mereka telah menemukan bentuk negara di mana mereka dapat memerintah secara bersama-sama. Pemberontakan bulan Juni sudah mempersatukan mereka di dalam partai Ketertiban. Kini, pertama-tama, adalah perlu untuk menyingkirkan kalangan teman para republiken burjuis yang masih menduduki kursikursi Majelis Nasional. Tepat sama brutalnya sebagaimana kaum republiken murni ini dalam penyalah-gunaan kekuatan fisik terhadap rakyat, tepat sama pengecut, sama menjilat, sama patah-semangat, dan tidak mampu berjuang dalam gerak mundur mereka sekarang, manakala soalnya yalah mempertahankan republikenisme mereka dan hak-hak legislatif mereka terhadap kekuasaan eksekutif dan kaum royalis. Aku tidak perlu mengisahkan di sini sejarah yang memalukan dari pembubaran mereka. Mereka tidak menyerah; mereka berlalu dari keberadaan. Sejarah mereka telah berakhir untuk selama-lamanya, dan, di dalam maupun di luar Majelis, mereka muncul di periode berikutnya hanya sebagai kenangan-kenangan, kenangan-kenangan yang tampak hidup kembali kapan saja sekedar nama republik kembali menjadi isu dan sesering konflik revolusioner terancam tenggelam hingga tingkat terendah. Aku dapat menyatakan sambil lalu bahwa jurnal yang memberikan namanya pada partai ini, Nasional itu, telah diubah menjadi sosialisme dalam periode berikutnya.
Sebelum kita mengakhiri periode ini kita masih harus melempar sekilas pandang retrospektif pada dua kekuatan, satu yang melenyapkan yang lainnya pada tanggal 2 Desember 1851, sedangkan dari 20 Desember 1848, hingga eksitnya/keluarnya Majelis Konstituante, mereka telah hidup dalam hubungan-hubungan ‘perkawinan’. Kita maksudkan Louis Bonaparte, di satu pihak, dan bagian dari kaum royalis yang bersatu, partai Ketertiban, dari burjuasi besar, di pihak lain. Ketika naik ke kepresidenan, Bonaparte segera membentuk sebuah pemerintahan partai Ketertiban, yang sebagai kepalanya diangkatnya Odilon Barrot, pemimpin lama, notabene, dari faksi yang paling liberal dari burjuasi parlementer. M. Barrot setidak-tidaknya telah mengamankan portofolio kementerian yang bayangannya telah menghantui dirinya sejak tahun 1830, dan lebih dari itu, kedudukan perdana menteri dalam pemerintahan itu; tetapi tidak, sebagaimana telah dibayangkannya di bawah Louis Philippe, sebagai pemimpin paling maju dari oposisi parlementer, namun dengan tugas membikin mati parlemen, dan sebagai sekutu dari semua musuh bebuyutannya, kaum Jesuit dan Legitimis. Ia akhirnya membawa pulang pengantin perempuan, tetapi hanya setelah diprostitusikan. Bonaparte tampaknya telah sepenuhnya meniadakan dirinya sendiri. Partai inilah yang bertindak untuknya.
Pertemuan paling pertama dari dewan menteri itu memutuskan ekspedisi ke Roma, yang, kalau disetujui, mesti dilakukan di luar pengetahuan Majelis Nasional dan cara-cara untuk itu mesti direbut darinya dengan dalih-dalih palsu. Demikian mereka mulai mempecundangi Majelis Nasional dan dengan diam-diam berkomplot dengan kekuatan-kekuatan absolutis di luar negeri terhadap republik revolusioner Roma.
Dengan cara yang sama dan dengan manuver-manuver yang sama Bonaparte mempersiapkan kupnya tanggal 20 Desember 1848, membentuk mayoritas Majelis Legislatif Nasional pada 2 Desember 1851.
Pada bulan Agustus Majelis Konstituante telah memutuskan untuk bubar hanya setelah menyusun dan mengumumkan sederetan undang-undang organik yang mesti melengkapi konstitusi. Pada tanggal 6 Januari 1849, partai Ketertiban menyuruh seorang wakil bernama Rateau mengajukan usul agar Majelis melepaskan/.membatalkan undang-undang organik itu dan lebih baik memutuskan mengenai pembubaran dirinya sendiri. Tidak hanya pemerintahan, dengan Odilon Barrot sebagai pemimpinnya, tetapi seluruh anggota royalis dari Majelis Nasional memberi-tahukan dengan nada menggertak pada waktu itu bahwa pembubaran Majelis Nasional diperlukan untuk pemulian kepercayaan, untuk konsolidasi ketertiban, untuk mengakhiri pengaturan-pengaturan sementara yang tidak menentukan dan menetapkan suatu keadaan yang menentu; bahwa Majelis itu menghambat produktivitas pemerintahan baru dan berusaha memperpanjang keberadaannya semata-mata karena kedengkian; bahwa negeri itu sudah tidak-dapat menanggungnya lebih lama lagi. Bonaparte memperhatikan semua cercaan terhadap kekuasaan legistlatif ini, mengingatnya di luar kepala, dan membuktikan pada para royalis parlementer, pada tanggal 2 Desember 1851, bahwa dirinya telah belajar dari mereka. Ia mengulangi semboyan-semboyan mereka sendiri terhadap mereka.
Pemerintahan Barrot dan partai Ketertiban bertindak lebih jauh. Mereka membuat dilakukannya pengajuan petisi-petisi pada Majelis Nasional di seluruh Prancis, di mana lembaga ini secara sopan dituntut agar bubar. Dengan demikian mereka membawa massa rakyat yang tidak terorganisasi memasuki api pertempuran terhadap Majelis Nasional, pernyataan rakyat yang terorganisasi secara konstitusional. Mereka mengajarkan pada Bonaparte untuk menyerukan perlawanan terhadap majelis-majelis parlementer pada rakyat. Pada akhirnya, pada tanggtal 29 Januari 1849, harinya telah tiba tatkala Majelis Konstituante harus menetukan mengenai pembubarannya sendiri. Majelis Nasional mendapatkan bangunan di mana sidang-sidangnya dilangsungkan diduduki oleh militer; Changarnier, jendral partai Ketertiban, yang ke dalam tangannya komando tertinggi Garda Nasional dan pasukanpasukan itu dipersatukan, mengadakan sebuah pameran kekuatan militer yang besar di Paris, seakan-akan suatu peperangan akan pecah, dan kaum royalis dalam koalisi secara mengancam menyatakan pada Majelis Konstituante bahwa kekerasan akan digunakan jika majelis itu ternyata melawan. Majelis itu bersedia, dan hanya menawar suatu masa hidup tambahan. Apakah 29 Januari itu kalau bukan kudeta 2 Desember 1851, tetapi yang dilaksanakan oleh kaum royalis bersama Bonaparte terhadap Majelis Nasional republiken? Tuan-tuan itu tidak memperhatikan, atau tidak ingin memperhatikan, bahwa Bonaparte memakai kesempatan pada 29 Januari 1849, membuat sebagian dari pasukan-pasukan berbaris di depan dirinya melalui depan Tuileries, dan dilanda keinginan keras justru pada pengerahan terbuka pertama dari kekuatan militer terhadap kekuasaan parlementer untuk membayangkan/memberi pertanda Caligula. Mereka, jelas, hanya melihat Changarnier mereka.
Sebuah motif yang secara khusus menggerakkan partai Ketertiban dengan menggunakan kekerasan mempersingkat durasi/usia hidup Majelis Konstituante adalah undang-undang organik yang melengkapi konstitusi itu, seperti undang-undang mengenai pendidikan, undangundang mengenai ibadah agama, dsb. Bagi kaum royalis dalam koalisi adalah terpenting bahwa mereka sendiri yang mesti membuat undang-undang ini dan tidak menyerahkan pembuatan itu pada kaum republiken, yang telah berkembang menjadi curiga. Namun, di antara undangundang organik ini, terdapat juga sebuah undang-undang tentang tanggung-jawab Presiden Republik. Pada tahun 1851 Majelis Legislatif disibukkan dengan merancang justru sebuah undang-undang seperti itu, manakala Bonaparte mengantisipasikan kup ini dengan kup tanggal 2 Desember. Apa yang tidak akan diberikan oleh kaum royalis dalam koalisi itu dalam kampanye pemilihan musim dingin mereka tahun 1851 untuk mendapatkan Undang-undang Tanggung-jawab itu siap di tangan, dan dirancang, seperti itu, oleh sebuah Majelis republiken yang curiga, bermusuhan!
Setelah Majelis Konstituante sendiri menghancurkan senjata terakhir mereka pada tanggal 29 Januari 1849, Pemerintahan Barrot dan kawankawan ketertiban mengejar-ngejarnya sampai mati, melakukan apa saja yang dapat menghinanya, dan merenggut dari Majelis yang impoten, yang tak-berdaya itu undang-undang yang harus dibayarnya dengan sisa-sisa terakhir kehormatan di mata publik. Bonaparte, berasyik-asyik dengan ide Napoleoniknya yang terpancang dalam kepalanhya, cukup kurang-ajar untuk mengeksploitasi secara terbuka kemerosotan kekuasaan parlementer ini. Karena, ketika pada tanggal 8 Mei 1849, Majelis Nasional mengesahkan suatu putusan yang mengecam pemerintahan atas pendudukan Civitavecchia oleh Oudinot, dan memerintahkannya untuk mengembalikan ekspedisi Roma pada yang dianggap sebagai tujuan ekspedisi itu, Bonaparte pada petang itu juga mengumumkan dalam Moniteur sepucuk surat pada Oudinot di mana ia memberi selamat atas perbuatan-perbuatan heroiknya dan, berbeda dengan kaum parlementer yang membuang-buang tinta, sudah bersikap sebagai pelindung tentara yang murah-hati. Para royalis tersenyum simpul. Mereka memandangnya semata-mata sebagai korban penipuan mereka. Akhirnya, manakala Marrast, Presiden dari Majelis Konstituante, sesaat saja percaya bahwa keselamatan Majelis Nasional telah dibahayakan dan, bersandar pada konstitusi, menugaskan seorang kolonel dan resimennya, kolonel itu menolak, mengutip disiplin dalam dukungannya, dan menyebut Marrast pada Changarnier, yang dengan sangat menghina menolaknya dengan pernyataan bahwa dirinya tidak menyukai bayonettes intelligentes [bayonet-bayonet cerdas]. Pada bulan November 1851, ketika kaum royalis dalam koalisi ingtin memulai perjuangan menentukan terhadap Bonaparte, mereka berusaha menggolkan dalam Undang-undang Keuangan mereka yang tersohor itu azas penugasan langsung pasukan-pasukan oleh Presiden Majelis Nasional. Salah seorang dari jendral-jendral mereka, Le Flo, telah menanda-tangani undang-undang itu. Sia-sia saja Changarnier memberi suaranya dan Thiers memberi penghormatan pada kebijaksanaan yang berpandangan jauh dari bekas Majelis Konstituante itu. Menteri Peperangan, Saint-Arnaud, menjawabnya sebagaimana Changarnier telah menjawab Marrast – dan pada aklamasi/suara bulat Montagne!
Demikian itulah partai Ketertiban, ketika ia belum merpakan Majelis Nasional, ketika ia hanyalah kementerian, maka telah sendiri menodai (menstigmatisasi) rezim parlementer. Dan ia membuat kegaduhan ketika pada 2 Desember 1851, membuang rezim ini dari Prancis!
Kita memujikannya suatu perjalanan yang menyenangkan.